Sebuah dunia yang adil, tempat di mana langit bersemu tosca membentang di atas kepalaku, memusingkanku sejenak sebelum tertunduk malu. Beberapa menit lalu ia telah berubah menjadi biru yang agung. Aku tetap memandanginya. Dari balik jendela kaca kamarku embun melingkar. Aku mendengus, melemparkan kanebo ke samping meja, pada tumpukan buku-buku yang seharusnya telah jatuh tempo peminjaman perpustakaan. Tanganku tidak cukup panjang untuk menjangkau bagian paling tinggi. Biarkan saja air hujan mengerak di kaca atas jendelaku. Matahari semakin tinggi seiring menyempitnya sudut jam pada angka enam. Aku mulai panik, tergesa-gesa melemparkan semua buku yang ada di meja ke dalam tasku. Menengok jadwal piket kamar, memastikan bahwa aku tidak salah melihat hari, aku mengencangkan tali sepatuku dan bergegas keluar kamar. Rutinitas pagi yang monoton, sebuah hari di mana hidupku hanyalah do re mi yang tidak pernah naik ke oktaf yang lebih tinggi. Aku meninggalkan debu di depan kamarku yang menghilang bersama tiupan angin tanpa menyadari adanya satu hal yang tidak bisa dikembalikan – waktu.