Text Practice Mode
Budaya Kota Sala
created Jul 29th 2019, 03:09 by Silvi Liani
0
727 words
4 completed
5
Rating visible after 3 or more votes
saving score / loading statistics ...
00:00
Pengaruh Budaya Dalam Pembentukan Ruang Kota Sala Sejak Perpindahan Kraton Sampai Dengan Peletakan Motif Dasar Kolonial
Kota Sala adalah salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki sejarah panjang dalam perkembangannya. semenjak terbentuk dari zaman kerajaan hingga sekarang, pertumbuhan
dan perkembangan Kota Sala sangat dipengaruhi oleh dinamika pemerintahannya. Dualisme kepemimpinan yang terjadi pada masa kerajaan, yaitu antara Kraton Surakarta dengan Pemerintah Kolonial, menentukan pola bentukan ruang kota dengan unsur nilai dan simbol kebudayaan yang dianut dua penguasa tersebut. Menurut Kuntjoroningrat, kebudayaan dibedakan menjadi tiga unsur, yaitu ide/ norma, perilaku dan karya/artefak. Sedangkan Kuntowijoyo membedakannya menjadi dua unsur, yaitu nilai dan simbol. Nilai merupakan kebudayaan yang tidak kasat mata, sedangkan simbol merupakan perwujudan nilai yang kasat mata. Menurut Jo Santoso (2002), kota adalah oikos, yang didalamnya terdapat empat komponen pokok, yaitu humus adalah tempat produksi, home adalah tempat berlindung, homo adalah tempat untuk mengembangkan diri, serta habitat adalah tempat yang digunakan untuk menjalankan proses produksi dan reporoduksi. Sementara itu, kota adalah sebuah sistem yang didalamnya terdiri dari komponen-komponen sistem dengan fungsinya masing-masing untuk mendukung fungsi kota. Maka dapat disimpulkan bahwa keempat komponen oikos tersebut adalah komponenkomponen pembentuk kota yang akan tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kota. Tumbuh dan berkembangnya kota terwujud dalam bentuk berbagai macam simbol kebudayaan sebagai perwujudan dari nilai budaya yang dianut oleh penguasanya (pemerintahannya) seperti pola bentuk ruang kota dan bangunan-bangunan yang ada di pusat kota. Berdasarkan deskripsi di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan mengkaji pengaruh budaya dalam pembentukan ruang kota sebagai bentuk dari nilai dan simbol budaya.
Kota Sala merupakan sebuah kota yang memiliki peninggalan budaya karena perjalanan sejarahnya sehingga mempengaruhi kebudayaannya. Kuntowijoyo mengatakan, nila inilai budaya selalu hadir dalam setiap perwujudan fisik apakah ruang/bangunan atau konstruksi. Sebuah pabrik, misalnya juga mengandung nilai budaya. Nilai itu ialah efisiensi, kerjasama terorganisasi, pembagian kerja, dan hierarki sosial. Sejak abad XVI orang-orang Belanda datang ke Indonesia dengan tujuan awal untuk berdagang, tapi pada akhirnya kemudian menjadi penguasa. Belanda mulai menjajah ketika VOC menguasai perdagangan komoditi pertanian di Indonesia yang merupakan komoditi pasar dunia, seperti, lada, vanilla, kopi, gula, nila dan karet. Pada awal kehadirannya, perusahaan dagang Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) mendirikan gudang-gudang (pachuizen) untuk menimbun barang-barang dagangan (rempah - rempah) serta kantor dagang sebagai contoh di Banten, Jepara dan Jayakarta (Jakarta lama). Pada perkembangannya mereka kemudian membuat pengamanan dengan memodifikasi gudang dan kantor tersebut menjadi benteng pertahanan, sekaligus sebagai tempat tinggal warganya. Sistem pertahanan ini dimaksudkan untuk pertahanan dalam bersaing dengan pedagang-pedagang bangsa lain (Soekiman, 2000). Dalam kegiatan perdagangan, VOC tidak hanya menguasai jalur-jalur perdagangan di daerah pesisir Jawa, tetapi mereka juga berusaha menguasai daerah pedalaman. Kebetulan Kerajaan Mataram pada abad XVIIXVIII pusatnya selalu di wilayah pedalaman Jawa
dengan wilayah yang sangat luas dan subur. Kegiatan VOC mengintervensi kekuasaan Kerajaan Mataram mulai terasa diwilayah Sala sejak pengambil-alihan Keraton Kartosuro oleh PB II dengan bantuan VOC (kumpeni). Intervensiini juga meninggalkan jejak sejarah dalam tataruang kota kerajaan yang dibangun kemudian sesudah pusat kerajaan pindah dari Kartosuro ke Desa Sala. Kecerdikan VOC menerapkan konsep kebudayaan lewat tata ruang Kota Sala menghasilkan sebuah kota konsep “dualism”, kota dengan dua konsep kebudayaan, yaitu konsep kota kosmologi Jawa dan konsep kota kolonial . Hal ini dilakukan untuk menghindari konflik/ peperangan akibat adanya perbedaanbudaya. Simbol-simbol budaya dibiarkan berdiri di dalam ruang kota, sementara itu VOC memperkuat cengkeraman kekuasaannya melalui pembangunan-pembangunan infrastruktur pertahanan seperti beteng, jalan militer, barak barak militer sembari mereka melakukan pelemahan pada sisi kekuasaan kerajaan (tradisional) dengan melalui perjanjian-perjanjian yang tidak adil dan intervensi pada konflikkonflik keluarga keraton bahkan pengaturan kehidupan keluarga raja. Konsep Kota Kolonial tidak bisa lepas dari budaya kolonial, dimana proses pengambilan keputusan di negara jajahan, terjadi di negara induk. Artinya negara jajahan didominasi oleh sistem nilai, model dan penyelesaianpenyelesaian masalah perkotaan dengan cara masyarakat metropolitan kolonial yang berbeda jauh budayanya dengan masyarakat Sala yang
cenderung tradisional.Para perencana kolonial tidak mempedulikan dan cenderung menolak sistem nilai tradisional yang dipegang oleh penduduk pribumi. Kota-kota yang dikembangkan oleh VOC di Indonesia selalu didasarkan atas suatu konsep yang disebut “founded Settlement” atau cikalbakal permukiman Kolonial Belanda.
Konsep ini terdiri atas tata-ruang dan elemenelemen bangunan yang menganut pedoman dan petunjuk teknis yang dikendalikan dari Netherland dan diawasi oleh Gubernur Jendral, Residen serta para insinyur. Hal ini berhubungan dengan konsep kolonialisasi dimana terjadi hubungan dominansi-dependensi. Hubungan ini menunjukkan ketergantungan masyarakat yang dijajah terhadap yang menjajah, akibat penekanan fungsi militer dan administrasi yang dilakukan oleh penjajah.
Kota Sala adalah salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki sejarah panjang dalam perkembangannya. semenjak terbentuk dari zaman kerajaan hingga sekarang, pertumbuhan
dan perkembangan Kota Sala sangat dipengaruhi oleh dinamika pemerintahannya. Dualisme kepemimpinan yang terjadi pada masa kerajaan, yaitu antara Kraton Surakarta dengan Pemerintah Kolonial, menentukan pola bentukan ruang kota dengan unsur nilai dan simbol kebudayaan yang dianut dua penguasa tersebut. Menurut Kuntjoroningrat, kebudayaan dibedakan menjadi tiga unsur, yaitu ide/ norma, perilaku dan karya/artefak. Sedangkan Kuntowijoyo membedakannya menjadi dua unsur, yaitu nilai dan simbol. Nilai merupakan kebudayaan yang tidak kasat mata, sedangkan simbol merupakan perwujudan nilai yang kasat mata. Menurut Jo Santoso (2002), kota adalah oikos, yang didalamnya terdapat empat komponen pokok, yaitu humus adalah tempat produksi, home adalah tempat berlindung, homo adalah tempat untuk mengembangkan diri, serta habitat adalah tempat yang digunakan untuk menjalankan proses produksi dan reporoduksi. Sementara itu, kota adalah sebuah sistem yang didalamnya terdiri dari komponen-komponen sistem dengan fungsinya masing-masing untuk mendukung fungsi kota. Maka dapat disimpulkan bahwa keempat komponen oikos tersebut adalah komponenkomponen pembentuk kota yang akan tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kota. Tumbuh dan berkembangnya kota terwujud dalam bentuk berbagai macam simbol kebudayaan sebagai perwujudan dari nilai budaya yang dianut oleh penguasanya (pemerintahannya) seperti pola bentuk ruang kota dan bangunan-bangunan yang ada di pusat kota. Berdasarkan deskripsi di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan mengkaji pengaruh budaya dalam pembentukan ruang kota sebagai bentuk dari nilai dan simbol budaya.
Kota Sala merupakan sebuah kota yang memiliki peninggalan budaya karena perjalanan sejarahnya sehingga mempengaruhi kebudayaannya. Kuntowijoyo mengatakan, nila inilai budaya selalu hadir dalam setiap perwujudan fisik apakah ruang/bangunan atau konstruksi. Sebuah pabrik, misalnya juga mengandung nilai budaya. Nilai itu ialah efisiensi, kerjasama terorganisasi, pembagian kerja, dan hierarki sosial. Sejak abad XVI orang-orang Belanda datang ke Indonesia dengan tujuan awal untuk berdagang, tapi pada akhirnya kemudian menjadi penguasa. Belanda mulai menjajah ketika VOC menguasai perdagangan komoditi pertanian di Indonesia yang merupakan komoditi pasar dunia, seperti, lada, vanilla, kopi, gula, nila dan karet. Pada awal kehadirannya, perusahaan dagang Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) mendirikan gudang-gudang (pachuizen) untuk menimbun barang-barang dagangan (rempah - rempah) serta kantor dagang sebagai contoh di Banten, Jepara dan Jayakarta (Jakarta lama). Pada perkembangannya mereka kemudian membuat pengamanan dengan memodifikasi gudang dan kantor tersebut menjadi benteng pertahanan, sekaligus sebagai tempat tinggal warganya. Sistem pertahanan ini dimaksudkan untuk pertahanan dalam bersaing dengan pedagang-pedagang bangsa lain (Soekiman, 2000). Dalam kegiatan perdagangan, VOC tidak hanya menguasai jalur-jalur perdagangan di daerah pesisir Jawa, tetapi mereka juga berusaha menguasai daerah pedalaman. Kebetulan Kerajaan Mataram pada abad XVIIXVIII pusatnya selalu di wilayah pedalaman Jawa
dengan wilayah yang sangat luas dan subur. Kegiatan VOC mengintervensi kekuasaan Kerajaan Mataram mulai terasa diwilayah Sala sejak pengambil-alihan Keraton Kartosuro oleh PB II dengan bantuan VOC (kumpeni). Intervensiini juga meninggalkan jejak sejarah dalam tataruang kota kerajaan yang dibangun kemudian sesudah pusat kerajaan pindah dari Kartosuro ke Desa Sala. Kecerdikan VOC menerapkan konsep kebudayaan lewat tata ruang Kota Sala menghasilkan sebuah kota konsep “dualism”, kota dengan dua konsep kebudayaan, yaitu konsep kota kosmologi Jawa dan konsep kota kolonial . Hal ini dilakukan untuk menghindari konflik/ peperangan akibat adanya perbedaanbudaya. Simbol-simbol budaya dibiarkan berdiri di dalam ruang kota, sementara itu VOC memperkuat cengkeraman kekuasaannya melalui pembangunan-pembangunan infrastruktur pertahanan seperti beteng, jalan militer, barak barak militer sembari mereka melakukan pelemahan pada sisi kekuasaan kerajaan (tradisional) dengan melalui perjanjian-perjanjian yang tidak adil dan intervensi pada konflikkonflik keluarga keraton bahkan pengaturan kehidupan keluarga raja. Konsep Kota Kolonial tidak bisa lepas dari budaya kolonial, dimana proses pengambilan keputusan di negara jajahan, terjadi di negara induk. Artinya negara jajahan didominasi oleh sistem nilai, model dan penyelesaianpenyelesaian masalah perkotaan dengan cara masyarakat metropolitan kolonial yang berbeda jauh budayanya dengan masyarakat Sala yang
cenderung tradisional.Para perencana kolonial tidak mempedulikan dan cenderung menolak sistem nilai tradisional yang dipegang oleh penduduk pribumi. Kota-kota yang dikembangkan oleh VOC di Indonesia selalu didasarkan atas suatu konsep yang disebut “founded Settlement” atau cikalbakal permukiman Kolonial Belanda.
Konsep ini terdiri atas tata-ruang dan elemenelemen bangunan yang menganut pedoman dan petunjuk teknis yang dikendalikan dari Netherland dan diawasi oleh Gubernur Jendral, Residen serta para insinyur. Hal ini berhubungan dengan konsep kolonialisasi dimana terjadi hubungan dominansi-dependensi. Hubungan ini menunjukkan ketergantungan masyarakat yang dijajah terhadap yang menjajah, akibat penekanan fungsi militer dan administrasi yang dilakukan oleh penjajah.
