Tasya dan Aji telah menjalin hubungan selama dua tahun. Sejak awal, Tasya selalu menjadi sosok yang penuh perhatian, mengirim pesan-pesan kecil pengingat makan, menanyakan kabar, dan tak pernah lelah mendukung Aji dalam suka maupun duka. Namun, Aji semakin lama justru tenggelam dalam dunia gamenya. Ia cuek, sulit diajak bicara, dan tampaknya lupa bahwa ada hati yang selalu menunggunya. Tasya sering merasa seperti berbicara sendiri. Ia mencoba mengingatkan Aji agar lebih bijak dalam membagi waktu, tapi setiap kali ia membuka suara, yang ia terima justru kemarahan. Aji menganggap peringatan Tasya sebagai bentuk larangan terhadap hobinya, bukan bentuk kasih sayang. Perhatian Tasya dianggap mengganggu, bukan mencintai. Hari demi hari, hubungan mereka terasa hampa. Di saat itulah, Tasya bertemu dengan Dimas, seorang rekan kerja baru yang berbeda dari Aji dalam banyak hal. Dimas adalah pria mapan, berwibawa, dan yang paling terasa: ia memperlakukan Tasya dengan penuh respek dan perhatian. Tanpa diminta, Dimas selalu hadir saat Tasya membutuhkan, sekadar menanyakan kabarnya atau menawarkan tumpangan saat hujan turun deras. Tasya awalnya mengabaikan perasaannya, mencoba setia pada Aji yang semakin menjauh. Namun, kesepian yang berkepanjangan perlahan menggerus hatinya. Perhatian yang sederhana dari Dimas terasa seperti oase di tengah kekeringan emosional yang ia alami. Sampai akhirnya, Aji mulai menyadari bahwa hubungannya dengan Tasya berada di ambang kehancuran. Tapi kesadaran itu datang terlambat. Hati Tasya sudah terlalu lelah untuk terus berjuang sendiri. Cinta yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi keraguan. Tasya tak pernah berpikir akan berpaling, tapi ia juga tak bisa menunggu seseorang yang bahkan tak mau berbalik menatapnya. Dan pada akhirnya, Tasya memilih untuk pergi, bukan karena hatinya tak setia, tapi karena ia sadar: cinta sejati bukan tentang siapa yang datang duluan, melainkan siapa yang mampu bertahan dan memperjuangkan.