Malam itu, bulan tidak terlihat. Hanya suara jangkrik yang memecah keheningan di gang sempit. Aku berjalan terburu-buru, melewati rumah tua di ujung gang yang terkenal angker. Konon, rumah itu dihuni oleh arwah seorang penari yang bunuh diri karena patah hati. Saat aku melewati gerbang, mataku tak sengaja menatap jendela lantai dua. Tiba-tiba, bayangan putih melintas cepat, diikuti tawa perempuan yang melengking, dingin, dan menusuk telinga. Jantungku berdebar. Kakiku rasanya seperti terpaku. Aku memejamkan mata, berharap itu hanya halusinasi. Ketika kubuka mata, bayangan itu sudah tidak ada. Tapi, di balik jendela yang gelap, sesosok wajah pucat dengan rambut panjang tergerai tampak menatapku. Matanya kosong, bibirnya tersenyum miring, seakan mengajakku masuk. Seketika, pintu rumah itu terbuka perlahan, mengeluarkan suara derit yang mengerikan. Hawa dingin menyelimuti. Aroma bunga melati yang pekat menusuk hidung, membuatku mual. Sosok itu melambaikan tangannya, seolah memanggilku. Tanpa berpikir, aku langsung berlari sekuat tenaga. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku tinggal lebih lama. Namun, saat menoleh ke belakang, aku melihat pintu itu tertutup dengan sendirinya. Di jendela, wajah pucat itu masih ada, tersenyum lebih lebar, seakan tahu aku akan kembali.