Text Practice Mode
Rumah Kosong di Ujung Gang
created Friday August 29, 19:25 by Pompom
2
447 words
44 completed
5
Rating visible after 3 or more votes
saving score / loading statistics ...
00:00
Di Kampungku, ada sebuah rumah kosong yang sudah bertahun-tahun ditinggalkan. Letaknya di ujung gang sempit, berdiri dengan cat dinding mengelupas dan jendela yang sebagian pecah. Anak-anak kecil sering menantang satu sama lain untuk masuk ke halaman rumah itu, tapi tak ada yang berani bertahan lama.
Sebagai remaja yang merasa diri pemberani, aku dan tiga temanku, Bimo, Yudi, dan Rani memutuskan untuk membuktikan kalau cerita-cerita seram itu hanya omong kosong. Malam itu, sekitar pukul sebelas, kami membawa senter dan masuk ke dalam rumah kosong itu.
Begitu melangkah ke dalam, hawa dingin langsung menyergap. Bau pengap bercampur aroma kayu lapuk menusuk hidung. Lantai kayu berderit setiap kali kami menginjaknya. Dindingnya dipenuhi lumut, dan sarang laba-laba menggantung di setiap sudut ruangan.
“Katanya dulu ada keluarga yang meninggal di sini karena kebakaran,” bisik Yudi.
“Ah, jangan ngawur,” jawabku, meski dalam hati merinding.
Kami terus berjalan, menelusuri ruang demi ruang. Saat tiba di ruang tamu, Rani berhenti tiba-tiba.
“Kalian dengar nggak?” katanya pelan.
Kami terdiam. Dari lantai atas terdengar suara langkah pelan, seperti seseorang sedang berjalan bolak-balik. Padahal jelas tidak ada orang lain di rumah itu selain kami.
Bimo memberanikan diri naik ke lantai dua. Aku dan yang lain ikut. Tangga kayunya berderit keras, membuat jantungku berdetak makin cepat. Sesampainya di atas, suasana semakin mencekam. Lorong panjang gelap, hanya diterangi senter yang kami bawa.
Tiba-tiba, salah satu pintu kamar terbuka sendiri dengan bunyi keras. Senter Rani bergetar saat menyorot ke arah pintu itu. Dari celahnya, tampak sesosok bayangan hitam berdiri kaku. Tingginya hampir menyentuh plafon, matanya merah menyala dalam kegelapan.
Kami semua menjerit dan berlari turun. Namun saat hendak keluar, pintu depan yang tadinya terbuka kini menutup rapat dengan suara gedebuk. Kami panik, berusaha mendorongnya, tapi seolah ada kekuatan besar menahannya dari luar.
Dari arah tangga terdengar suara langkah lagi, kali ini lebih cepat. Seperti ada yang mengejar. Aku nekat menoleh ke belakang, dan kulihat sesosok wanita berambut panjang kusut, wajahnya hangus hitam terbakar, matanya kosong menatap kami. Ia merangkak turun dengan gerakan cepat, mengeluarkan suara lirih seperti tangisan.
“Buka pintunyaaa!” teriak Rani histeris.
Dengan seluruh tenaga, kami mendorong pintu hingga akhirnya terbuka. Tanpa pikir panjang, kami berlari keluar gang, tak peduli lagi pada barang-barang yang tertinggal.
Sesampainya di jalan utama, kami berhenti untuk mengatur napas. Anehnya, ketika menoleh kembali ke arah rumah itu, jendelanya yang tadinya pecah kini tampak tertutup rapat. Di balik kaca, ada bayangan samar sosok wanita tadi, berdiri memandang kami.
Sejak malam itu, tidak ada satu pun dari kami yang berani mendekati rumah kosong itu lagi. Bahkan hanya melewati gangnya saja membuat bulu kuduk merinding. Orang-orang bilang, roh keluarga yang meninggal di kebakaran masih terjebak di dalam sana, dan siapa pun yang masuk tanpa izin, akan mereka ikuti sampai ke luar.
Sebagai remaja yang merasa diri pemberani, aku dan tiga temanku, Bimo, Yudi, dan Rani memutuskan untuk membuktikan kalau cerita-cerita seram itu hanya omong kosong. Malam itu, sekitar pukul sebelas, kami membawa senter dan masuk ke dalam rumah kosong itu.
Begitu melangkah ke dalam, hawa dingin langsung menyergap. Bau pengap bercampur aroma kayu lapuk menusuk hidung. Lantai kayu berderit setiap kali kami menginjaknya. Dindingnya dipenuhi lumut, dan sarang laba-laba menggantung di setiap sudut ruangan.
“Katanya dulu ada keluarga yang meninggal di sini karena kebakaran,” bisik Yudi.
“Ah, jangan ngawur,” jawabku, meski dalam hati merinding.
Kami terus berjalan, menelusuri ruang demi ruang. Saat tiba di ruang tamu, Rani berhenti tiba-tiba.
“Kalian dengar nggak?” katanya pelan.
Kami terdiam. Dari lantai atas terdengar suara langkah pelan, seperti seseorang sedang berjalan bolak-balik. Padahal jelas tidak ada orang lain di rumah itu selain kami.
Bimo memberanikan diri naik ke lantai dua. Aku dan yang lain ikut. Tangga kayunya berderit keras, membuat jantungku berdetak makin cepat. Sesampainya di atas, suasana semakin mencekam. Lorong panjang gelap, hanya diterangi senter yang kami bawa.
Tiba-tiba, salah satu pintu kamar terbuka sendiri dengan bunyi keras. Senter Rani bergetar saat menyorot ke arah pintu itu. Dari celahnya, tampak sesosok bayangan hitam berdiri kaku. Tingginya hampir menyentuh plafon, matanya merah menyala dalam kegelapan.
Kami semua menjerit dan berlari turun. Namun saat hendak keluar, pintu depan yang tadinya terbuka kini menutup rapat dengan suara gedebuk. Kami panik, berusaha mendorongnya, tapi seolah ada kekuatan besar menahannya dari luar.
Dari arah tangga terdengar suara langkah lagi, kali ini lebih cepat. Seperti ada yang mengejar. Aku nekat menoleh ke belakang, dan kulihat sesosok wanita berambut panjang kusut, wajahnya hangus hitam terbakar, matanya kosong menatap kami. Ia merangkak turun dengan gerakan cepat, mengeluarkan suara lirih seperti tangisan.
“Buka pintunyaaa!” teriak Rani histeris.
Dengan seluruh tenaga, kami mendorong pintu hingga akhirnya terbuka. Tanpa pikir panjang, kami berlari keluar gang, tak peduli lagi pada barang-barang yang tertinggal.
Sesampainya di jalan utama, kami berhenti untuk mengatur napas. Anehnya, ketika menoleh kembali ke arah rumah itu, jendelanya yang tadinya pecah kini tampak tertutup rapat. Di balik kaca, ada bayangan samar sosok wanita tadi, berdiri memandang kami.
Sejak malam itu, tidak ada satu pun dari kami yang berani mendekati rumah kosong itu lagi. Bahkan hanya melewati gangnya saja membuat bulu kuduk merinding. Orang-orang bilang, roh keluarga yang meninggal di kebakaran masih terjebak di dalam sana, dan siapa pun yang masuk tanpa izin, akan mereka ikuti sampai ke luar.
