Text Practice Mode
Lampion di Tepi Sungai
created Thursday November 06, 06:39 by adit17
0
209 words
3 completed
0
Rating visible after 3 or more votes
saving score / loading statistics ...
00:00
Di sebuah desa yang tenang, stiap tahun diadakan Festival Lampion di tepi sungai. Malam itu, langit dipenuhi bintang, dan permukaan air memantulkan cahaya lampion berwarna-warni yang mengapung perlahan mengikuti arus.
Lia berdiri di tepi sungai sambil memegang lampion kertas berwarna biru muda. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena kenangan. Lampion itu adalah tradisi menuliskan harapan, lalu melepaskannya ke sungai.
"Masih kamu tulis namanya disitu?" tanya seorang pemuda di belakangnya. Ia adalah Arga teman masa kecil Lia, yang sudah lama pergi merantau dan baru kembali malam ini.
Lia tersenyum tipis. "Nggak. Tahun ini cuma ada satu nama. Namaku sendiri."
Arga ikut berdiri di sampingnya. "Sudah saatnya kamu berhenti berharap pada orang yang engga mau tinggal."
Lia diam, kemudian mengangguk pelan. Ia menutup mata sejenak lalu meletakkan lampion itu ke permukaan air. Lampion biru itu melaju pelan, bercampur dengan ratusan lampion lain, seolah membawa semua sedih yang tak sempat diucapkan.
Arga menatapnya dengan tenang."Kalau kamu butuh seseorang buat dengar cerita kamu... aku di sini. Engga akan pergi lagi."
Lia menoleh, menatap Arga. Matanya lembut. "Lampionku udah kubiarkan pergi. Tapi kalau kamu mau tinggal, aku engga keberatan."
Arga tersenyum. Di langit, kembang api pertama meledak, disusul sorak bahagia orang-orang. Tapi di tepi sungai, dua hati yang lama diam akhirnya berani bicara.
Lia berdiri di tepi sungai sambil memegang lampion kertas berwarna biru muda. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena kenangan. Lampion itu adalah tradisi menuliskan harapan, lalu melepaskannya ke sungai.
"Masih kamu tulis namanya disitu?" tanya seorang pemuda di belakangnya. Ia adalah Arga teman masa kecil Lia, yang sudah lama pergi merantau dan baru kembali malam ini.
Lia tersenyum tipis. "Nggak. Tahun ini cuma ada satu nama. Namaku sendiri."
Arga ikut berdiri di sampingnya. "Sudah saatnya kamu berhenti berharap pada orang yang engga mau tinggal."
Lia diam, kemudian mengangguk pelan. Ia menutup mata sejenak lalu meletakkan lampion itu ke permukaan air. Lampion biru itu melaju pelan, bercampur dengan ratusan lampion lain, seolah membawa semua sedih yang tak sempat diucapkan.
Arga menatapnya dengan tenang."Kalau kamu butuh seseorang buat dengar cerita kamu... aku di sini. Engga akan pergi lagi."
Lia menoleh, menatap Arga. Matanya lembut. "Lampionku udah kubiarkan pergi. Tapi kalau kamu mau tinggal, aku engga keberatan."
Arga tersenyum. Di langit, kembang api pertama meledak, disusul sorak bahagia orang-orang. Tapi di tepi sungai, dua hati yang lama diam akhirnya berani bicara.
saving score / loading statistics ...