Text Practice Mode
Lelaki di Kursi Tepi Jendela
created Wednesday November 12, 03:27 by adit17
1
889 words
30 completed
2
Rating visible after 3 or more votes
saving score / loading statistics ...
00:00
Setiap pagi pukul enam, Damar selalu duduk di kursi kayu tua di tepi jendela rumahnya. Dari sana, ia bisa melihat jalan utama desa: orang-orang lewat menuju sawah, anak-anak berlari ke sekolah, dan pedagang sayur yang menata dagangannya sambil memanggil pelanggan tetap
Bagi orang lain, pemandangan itu mungkin biasa saja. Tapi bagi Damar, semua itu adalah sisa kecil dari kehidupan yang pernah ia miliki.
Dulu, Damar seorang guru seni di kota. Hidupnya sederhana, tapi penuh warna. Ia sering mengajar murid-muridnya melukis langit sore, menggambar pohon, dan menulis puisi tentang hujan. Namun, setelah istrinya meninggal lima tahun lalu karena sakit, warna hidupnya perlahan memudar. Ia berhenti mengajar, pindah ke desa kelahirannya, dan sejak itu, hari-harinya hanya di isi dengan diam.
Suatu pagi, ketika ia menatap jalan dari balik jendela, seorang gadis kecil tiba-tiba muncul di depan rumahnya. Gadis itu menatap papan nama tua bertuliskan "Damar S." dengan heran, lalu mengetuk pintu.
"Permisi, ini rumahnya Pak Damar yang dulu guru seni?" tanya gadis itu dengan suara ceria.
Damar menatapnya ragu. "Ya, benar. Kamu siapa?"
"Aku Rani, muridnya Bu Sinta. Katanya Bapak dulu guru seni lukis yang hebat. Aku mau belajar melukis, tapi sekolah di sini nggak ada kelas seni."
Damar terdiam beberapa saat. Sudah lama tak ada yang memanggilnya "Bapak" dengan nada sehangat itu. Dalam dadanya, ada sesuatu yang bergerak - perasaan yang lama tertidur.
Akhirnya ia mengangguk. "Baiklah, masuklah. Tapi aku cuma punya cat lama dan kertas seadanya."
Rani tersenyum lebar. "Nggak apa-apa, yang penting aku belajar sama Bapak."
Hari-hari berikutnya terasa berbeda. Rumah Damar yang dulu sunyi kini dipenuhi suara tawa dan warna-warni cat. Dinding yang dulu kosong kini mulai penuh dengan gambar: pemandangan sawah, langit pagi, burung-burung kecil.
Damar mulai merasa hidup kembali. Ia menemukan makna baru dan mengajar - bukan untuk mencari uang, tapi untuk berbagi semangat yang dulu pernah ia miliki.
Suatu sore, saat mereka sedang melukis langit senja, Rani bertanya pelan
"Pak, kenapa Bapak suka melukis langit sore?"
Damar tersenyum. "Karena di sana, warna paling indah muncul saat hari hampir berakhir. Sama seperti hidup, Nak - kadang yang paling indah justru datang setelah kehilangan."
Waktu berlaku. Setahun kemudian, pameran kecil diadakan di balai desa. Semua lukis Rani dan Damar dipajang disana. Di antara kerumunan, Damar duduk di kursi tepi jendela balai, menatap karya hasil muridnya dengan mata berkaca-kaca.
Langit sore di luar balai berwarna jingga - sama seperti lukisan yang mereka buat bersama. Dan untuk pertama kalinya setelah lima tahun, Damar merasa... ia akhirnya pulang.
Sudah sepuluh tahun berlaku sejak pameran kecil di balai desa itu. Waktu berjalan cepat, tapi kenangan tentang sore-sore penuh warna di rumah kayu Pak Damar tetap tertinggal di hati Rani
Kini, Rani telah tumbuh menjadi perempuan dewasa, seorang pelukis muda yang namanya mulai dikenal kota. Lukisan-lukisannya terkenal karena satu hal: langit senja yang seolah hidup di setiap kanvasnya. Warna oranye, ungu, dan merah muda yang berpadu lembut selalu menjadi ciri khas - warna yang dulu diajarkan oleh lelaki tua di kursi tepi jendela itu.
Namun, di tengah semua pujian dan kesuksesan, ada satu hal yang selalu membuat dadanya berat setiap kali matahari mulai turun, Ia teringat suara Pak Damar yang tenang, tawa lembutnya, dan nasihat yang masih melekat di telinga: "Melukislah bukan untuk dilihat orang, tapi untuk mendengarkan hatimu sendiri,"
Suatu hari , setelah lama tak pulan, Rani memutuskan kembali di desa. Jalanan sudah berubah - banyak rumah beton menggantikan sawah lama, dan suara kendaraan menggantikan kicau burung yang dulu menemaninya belajar. Tapi rumah kayu di ujung jalan masih berdiri. Hanya saja, jendelanya kini tertutup rapat, dan kursi tua di depannya kosong, ditumbuhi lumut.
Rani mengetuk pintu perlahan, meski ia tahu mungkin tak ada yang akan menjawab. Seorang tetangga keluar dari rumah sebelah.
"Rani, ya? kamu muridnya Pak Damar, kan?"
Rani mengangguk pelan
"Pak Damar sudah lama nggak disini," kata tetangga itu lembut. "Beliau meninggal tiga tahun lalu. Tapi sebelum pergi, beliau masih sempat bilang, "Kalau Rani pulang suatu hari, tolong kasih ini."
Tetangga itu masuk sebentar lalu keluar sambil membawa buku catatan lusuh dan kuas cat yang sudah mengeras.
"Katanya ini buat kamu."
Dengan tangan gemetar, Rani membuka buku catatan itu. Halaman pertama berisi tulisan tangan yang sangat ia kenal.
"Untuk Rani - Jika suatu hari kamu membaca ini, mungkin aku sudah tidak melihat langit sore lagi. Tapi ingatlah, aku tidak pernah benar benar pergi. Aku hanya berpindah ke warna-warna di kanvasmu. Setiap kali kau lukis langit jingga, aku akan ada di sana, diam, tapi bahagia melihatmu terus melukis. - Damar."
Air mata jatuh di halaman itu, menetes pelan di antara barisan kata.
Rani duduk di kursi tua itu - kursi yang dulu menjadi tempat guru dan murid berbagi diam, tawa, dan warna. Ia memandang keluar jendela yang kini berdebu, tapi di baliknya langit senja tanpak sama indahnya seperti dulu.
Dengan tenang, ia mengambil kuas peninggalan itu, menatapnya lama, lalu berbisik: "Terima kasih Pak. Sekarang, biarkan aku melukis langit untuk kita berdua."
Beberapa bulan kemudian, di galeri seni besar di kota, digelar pameran bertajuk "Langit yang Ditinggalkan". Di tengah ruangan, terpajang satu lukisan paling mencolok: gambar seorang lelaki tua duduk di kursi tepi jendela, menatap senja dengan senyum tenang.
Di bawah lukisan itu tertulis satu kalimat sederhana: "Untuk guru yang mengajarkan bahwa kehilangan pun bisa punya warna."
Dan malam itu, ketika lampu-lampu galeri mulai redup, seolah langit di luar memerah - memberi penghormatan terakhir pada lelaki di kursi tepi jendela.
Bagi orang lain, pemandangan itu mungkin biasa saja. Tapi bagi Damar, semua itu adalah sisa kecil dari kehidupan yang pernah ia miliki.
Dulu, Damar seorang guru seni di kota. Hidupnya sederhana, tapi penuh warna. Ia sering mengajar murid-muridnya melukis langit sore, menggambar pohon, dan menulis puisi tentang hujan. Namun, setelah istrinya meninggal lima tahun lalu karena sakit, warna hidupnya perlahan memudar. Ia berhenti mengajar, pindah ke desa kelahirannya, dan sejak itu, hari-harinya hanya di isi dengan diam.
Suatu pagi, ketika ia menatap jalan dari balik jendela, seorang gadis kecil tiba-tiba muncul di depan rumahnya. Gadis itu menatap papan nama tua bertuliskan "Damar S." dengan heran, lalu mengetuk pintu.
"Permisi, ini rumahnya Pak Damar yang dulu guru seni?" tanya gadis itu dengan suara ceria.
Damar menatapnya ragu. "Ya, benar. Kamu siapa?"
"Aku Rani, muridnya Bu Sinta. Katanya Bapak dulu guru seni lukis yang hebat. Aku mau belajar melukis, tapi sekolah di sini nggak ada kelas seni."
Damar terdiam beberapa saat. Sudah lama tak ada yang memanggilnya "Bapak" dengan nada sehangat itu. Dalam dadanya, ada sesuatu yang bergerak - perasaan yang lama tertidur.
Akhirnya ia mengangguk. "Baiklah, masuklah. Tapi aku cuma punya cat lama dan kertas seadanya."
Rani tersenyum lebar. "Nggak apa-apa, yang penting aku belajar sama Bapak."
Hari-hari berikutnya terasa berbeda. Rumah Damar yang dulu sunyi kini dipenuhi suara tawa dan warna-warni cat. Dinding yang dulu kosong kini mulai penuh dengan gambar: pemandangan sawah, langit pagi, burung-burung kecil.
Damar mulai merasa hidup kembali. Ia menemukan makna baru dan mengajar - bukan untuk mencari uang, tapi untuk berbagi semangat yang dulu pernah ia miliki.
Suatu sore, saat mereka sedang melukis langit senja, Rani bertanya pelan
"Pak, kenapa Bapak suka melukis langit sore?"
Damar tersenyum. "Karena di sana, warna paling indah muncul saat hari hampir berakhir. Sama seperti hidup, Nak - kadang yang paling indah justru datang setelah kehilangan."
Waktu berlaku. Setahun kemudian, pameran kecil diadakan di balai desa. Semua lukis Rani dan Damar dipajang disana. Di antara kerumunan, Damar duduk di kursi tepi jendela balai, menatap karya hasil muridnya dengan mata berkaca-kaca.
Langit sore di luar balai berwarna jingga - sama seperti lukisan yang mereka buat bersama. Dan untuk pertama kalinya setelah lima tahun, Damar merasa... ia akhirnya pulang.
Sudah sepuluh tahun berlaku sejak pameran kecil di balai desa itu. Waktu berjalan cepat, tapi kenangan tentang sore-sore penuh warna di rumah kayu Pak Damar tetap tertinggal di hati Rani
Kini, Rani telah tumbuh menjadi perempuan dewasa, seorang pelukis muda yang namanya mulai dikenal kota. Lukisan-lukisannya terkenal karena satu hal: langit senja yang seolah hidup di setiap kanvasnya. Warna oranye, ungu, dan merah muda yang berpadu lembut selalu menjadi ciri khas - warna yang dulu diajarkan oleh lelaki tua di kursi tepi jendela itu.
Namun, di tengah semua pujian dan kesuksesan, ada satu hal yang selalu membuat dadanya berat setiap kali matahari mulai turun, Ia teringat suara Pak Damar yang tenang, tawa lembutnya, dan nasihat yang masih melekat di telinga: "Melukislah bukan untuk dilihat orang, tapi untuk mendengarkan hatimu sendiri,"
Suatu hari , setelah lama tak pulan, Rani memutuskan kembali di desa. Jalanan sudah berubah - banyak rumah beton menggantikan sawah lama, dan suara kendaraan menggantikan kicau burung yang dulu menemaninya belajar. Tapi rumah kayu di ujung jalan masih berdiri. Hanya saja, jendelanya kini tertutup rapat, dan kursi tua di depannya kosong, ditumbuhi lumut.
Rani mengetuk pintu perlahan, meski ia tahu mungkin tak ada yang akan menjawab. Seorang tetangga keluar dari rumah sebelah.
"Rani, ya? kamu muridnya Pak Damar, kan?"
Rani mengangguk pelan
"Pak Damar sudah lama nggak disini," kata tetangga itu lembut. "Beliau meninggal tiga tahun lalu. Tapi sebelum pergi, beliau masih sempat bilang, "Kalau Rani pulang suatu hari, tolong kasih ini."
Tetangga itu masuk sebentar lalu keluar sambil membawa buku catatan lusuh dan kuas cat yang sudah mengeras.
"Katanya ini buat kamu."
Dengan tangan gemetar, Rani membuka buku catatan itu. Halaman pertama berisi tulisan tangan yang sangat ia kenal.
"Untuk Rani - Jika suatu hari kamu membaca ini, mungkin aku sudah tidak melihat langit sore lagi. Tapi ingatlah, aku tidak pernah benar benar pergi. Aku hanya berpindah ke warna-warna di kanvasmu. Setiap kali kau lukis langit jingga, aku akan ada di sana, diam, tapi bahagia melihatmu terus melukis. - Damar."
Air mata jatuh di halaman itu, menetes pelan di antara barisan kata.
Rani duduk di kursi tua itu - kursi yang dulu menjadi tempat guru dan murid berbagi diam, tawa, dan warna. Ia memandang keluar jendela yang kini berdebu, tapi di baliknya langit senja tanpak sama indahnya seperti dulu.
Dengan tenang, ia mengambil kuas peninggalan itu, menatapnya lama, lalu berbisik: "Terima kasih Pak. Sekarang, biarkan aku melukis langit untuk kita berdua."
Beberapa bulan kemudian, di galeri seni besar di kota, digelar pameran bertajuk "Langit yang Ditinggalkan". Di tengah ruangan, terpajang satu lukisan paling mencolok: gambar seorang lelaki tua duduk di kursi tepi jendela, menatap senja dengan senyum tenang.
Di bawah lukisan itu tertulis satu kalimat sederhana: "Untuk guru yang mengajarkan bahwa kehilangan pun bisa punya warna."
Dan malam itu, ketika lampu-lampu galeri mulai redup, seolah langit di luar memerah - memberi penghormatan terakhir pada lelaki di kursi tepi jendela.
saving score / loading statistics ...